![]() |
| Masjid Al-Muttaqin di Banjasari, peninggalan Kyai Muhammad bin Umar sejak 1763, menjadi saksi lahirnya tanah perdikan. |
KLIKAENEWS.COM,Madiun-Setiap bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan. Ia tidak hanya berjalan menuju masa depan, tetapi juga melangkah dengan mantap karena berpijak pada fondasi masa lalu yang kokoh. Namun, seringkali, lembaran sejarah yang paling berharga justru terselip di balik narasi-narasi besar.
Kisah ini adalah tentang sebuah fragmen memori yang hampir terabaikan. Sebuah episode yang tidak tentang perang berdarah, melainkan tentang kemenangan yang langka: kemenangan tanpa pertumpahan darah. Ini adalah cerita tentang bagaimana kewibawaan spiritual mampu meluluhlantakkan benteng kekuatan musuh tanpa perlu mengangkat pedang.
Di tengah dunia modern yang serba instan, di mana konflik sering diselesaikan dengan kekuatan dan volume suara, kisah dari tahun 1762 ini justru hadir bagai oase. Ia menawarkan sebuah "soft power" yang hakiki, yang justru akar dari peradaban Nusantara. Inilah kisah yang patut kita dengar kembali.
Lahirnya Desa Banjasari, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun berawal dari peristiwa besar pada tahun 1762. Kisah heroik seorang ulama muda asal Ponorogo, Kyai Muhammad bin Umar, berhasil meredam pemberontakan di Singosari, Malang, pada 1762 silam tanpa pertumpahan darah. Atas jasanya, ia mendapat anugerah tanah perdikan dari Sultan Hamengku Buwono I yang kelak menjadi cikal bakal Desa Banjarsari.
Kala itu, Mataram mengalami kekalahan telak dari Prabu Joko, Adipati Singosari. Dalam kondisi terdesak, Sultan mengutus Pangeran Ronggo untuk meminta bantuan Kiai Ageng Muhammad Besari dari Tegalsari. Sang kiai lalu menunjuk menantunya, Kyai Muhammad bin Umar, yang baru berusia muda dan sebulan menikah, untuk memimpin misi tersebut.
Dengan hanya diiringi 40 prajurit dan santri, Kyai Muhammad Bin Umar mendatangi Singosari. Alih-alih berperang, ia justru shalat dan mendirikan kemah di tepi Sungai Brantas. Ajaibnya, Prabu Joko menyerah tanpa syarat dan diantarkan dengan damai ke Mataram. Konon, pasukan Singosari raib berkat kewibawaan spiritual sang kiai.
![]() |
| Penulis didepan halaman masjid Al- Mutaqqin Kyai Ageng Muhammad Bin Umar, Banjarsari |
Atas keberhasilannya, Kyai Muhammad bin Umar diberi hak mengelola sebidang hutan sebagai tanah perdikan (bebas pajak). Ia memilih daerah di utara Sungai Catur ,dekat desa Sewulan dan menamainya Banjarsari.
Di sana, ia membangun Masjid Al-Muttaqin (1763) dan pondok pesantren besar yang menjadi pusat pendidikan. Kepemimpinannya berlangsung 44 tahun hingga wafat pada 1807, meninggalkan warisan keteladanan, ketaatan, dan keikhlasan.
Sayangnya, status perdikan dihapus pemerintah pada 1963. Estafet kepemimpinan beralih dari kiai ke lurah, dan banyak peninggalan sejarah yang hilang ditelan zaman.
Maka, berakhirlah riwayat formal sebuah tanah perdikan. Statusnya tercabut dari peta administratif, kepemimpinan spiritualnya berganti dengan birokrasi, dan rumah-rumah pusakanya pun berserakan—ada yang rata dengan tanah, ada yang berpindah tangan.
Namun, ada sesuatu yang tidak pernah bisa dihapus oleh surat keputusan atau derap pembangunan. Jejak itu masih tersimpan dalam nama Banjarsari, dalam dinding-dinding tua Masjid Al-Muttaqin yang masih berdiri, dan yang terpenting, dalam resonansi ingatan kolektif yang terus dituturkan dari generasi ke generasi.
Kisah Kyai Muhammad bin Umar mengajarkan pada kita bahwa kemenangan sejati tidak diukur dari gemerincing pedang atau banyaknya rampasan perang, tetapi dari kesanggupan untuk menaklukkan hati dan pikiran dengan ketenangan dan kewibawaan. Ia adalah bukti bahwa senjata paling perkasa yang dimiliki Nusantara bukanlah keris atau tombak, melainkan ilmu dan akhlak yang memancar dari jiwa yang tawakal.
Banjarsari mungkin telah berubah wajah. Tapi rohnya, roh tentang sebuah tempat yang merdeka karena ilmu dan iman, tidak akan pernah benar-benar punah. Ia menjadi pengingat abadi: bahwa sebelum ada negara, sudah ada kearifan. Sebelum ada hukum, sudah ada budi pekerti. Dan sejarah tidak hanya ditulis oleh para pemenang perang, tetapi juga oleh para pemenang damai.
Melupakan Banjarsari bukan hanya tentang kehilangan sepotong sejarah, melainkan tentang melupakan sebuah alternatif—bahwa selalu ada jalan lain selain kekerasan. Di tengah gemuruh dunia yang kerap memilih menyelesaikan masalah dengan konfrontasi, kisah ini adalah mercusuar yang tetap menyala, menuntun kita pada sebuah kebenaran yang hampir terlupakan: bahwa kemuliaan sejati ada pada kebijaksanaan dan iman.
Timeline Banjasari.1762 → Kyai Muhammad bin Umar ditugaskan meredam perang Mataram–Singosari tanpa darah.
1762 → Sultan Hamengku Buwono II menghadiahkan tanah perdikan, lahirlah Banjasari.
1763 → Pendirian Masjid Al-Muttaqin (29 September).
1763–1807 → Kyai Muhammad bin Umar memimpin Banjasari selama 44 tahun.
1807 → Wafatnya Kyai Muhammad bin Umar.
Abad 19–20 → Banjasari terbagi menjadi dua: Banjarsari Wetan & Banjasari Kulon.
1963 → Pemerintah menghapus status perdikan.
Pasca 1963 → Banjasari dipimpin lurah pertama: R. Poernomo (Wetan) dan (kulon)??? ( Zm)



